Yogyakarta, 2016 lalu.

1:57:00 AM

"Mau request lagu apa, Mbak?"
"Kangen! Kangen nya Dewa 19!"
Lalu tawa kami bertiga mengiringi introduksi petikan senar sang Pengamen di Angkringan Tugu.

Masih lekat dikeningku perjalanan tidak terencana itu ke Yogyakarta, satu tahun yang lalu. Tanpa ada wacana, tanpa ada basa-basi, group chat yang kala itu dipenuhi dengan percakapan alot, seketika  ramai tentang apa saja dan siapa saja yang akan ikut Yogyakarta, seminggu sebelum keberangkatan. Berangkatlah empat dari sembilan perempuan dalam group chat ini ke Yogyakarta dengan bermodalkan tiket kereta ekonomi mereka dan kenekatan berwisata tanpa rencana.

Lempuyungan menyambut kami dengan asing, bukanlah kebiasaan kami menyinggahi stasiun ini, ditambah malam yang semakin riuh memaksa kami bergegas ke hotel tempat kami singgah didekat Tugu Yogyakarta selama lima hari kedepan. Dengan becak, akhirnya aku merasakan angin malam Yogyakarta menyambangi tiap-tiap helai rambutku dahulu. Berbeda sekali dengan angin arogan Ibukota yang tiada menyejukkan, walau Yogyakarta kini pun telah banyak kendaraan yang berlalu lalang, namun bekas ibukota sementara Indonesia ini tetap punya kesannya sendiri menyejukkan kotanya. Pemandangan malam yang berbeda dengan angkringan-angkringan yang berjajar disepanjang jalan membuat gemuruh diperut-perut perantau ini semakin menggema. Mampirlah kami disebuah angkringan yang ramai dengan kawula dan penyanyi-penyanyi jalanan di sebrang Tugu Yogyakarta, nikmat sekali, terutama kopi Joss kesukaanku. Ke Yogyakarta tanpa menyicipi angkringan adalah pengkhianatan! Singgahlah, rasakan kesederhanaannya dan pastinya kenikmatan kulinernya.

Entah apa selanjutnya tapi memoriku hanya teringat bahwa kami pertama kali akan menyambangi bagian selatan Yogyakarta; kumpulan pantai-pantai cantik di Parangtritis. Singgah sejenak di Gumuk Pasir adalah destinasi pertama kami di pagi hari. Meskipun masih pagi, panasnya hamparan pasir bagai menyerap seluruh isi mentari pagi hari. Kaki-kaki yang hanya terlapisi sepasang sandal rasanya
terpanggang pasir-pasir yang menghampar disepanjang mata memandang.  "Sunblock! Kak Icci Sunblock!" Ujar kami bertiga pada Kak Icci, kakak kami semua, selama satu jam berada di Gumuk Pasir. Teringat betul aku pada keseruan pagi itu,  dengan Reka sang kameramen, potret Gumuk Pasir dan kami semua indah bukan kepayang.



Destinasi kami selanjutnya adalah menempuh 57 KM perjalanan dari Gumuk Pasir Parangkusumo menuju pantai yang sejak dari awal kita incar, Pantai Pok Tunggal. Dengan mobil sedan Yaris putih waktu itu, kami melalui sepanjang jalur Parangtritis yang naik-turun bak menjelajahi bukit-bukit Magelang dengan harapan besar, Pantai Pok Tunggal seindah yang mereka dan potret-potret itu gambarkan. Benar saja, memang seindah itu Pantai Pok Tunggal pada nyatanya. Selayaknya titisan nirwana, seindah itulah pantai yang diapit Pantai Indrayanti dan Pantai Seruni. Keluh kesah perjalanan dengan mobil sedan terbayar begitu saja saat kita menyusuri putih nya pasir pantai yang mengkilap bagaikan hamparan kristal runtuh dari udara.

Laut membiru itu membuat cakrawala pun iri, bersih dan bening menelanjangi isi lautannya. Selayaknya perempuan, kami berempat pun tidak ketinggalan ingin menjadi cantik seperti Pantai Pok Tunggal ini, dengan mengabadikan foto-foto kami dengan latar belakang pantai yang luar biasa indah ini, terutama aku dan Anita rasanya. Sungguh tidak mengecewakan, panasnya mentari dari lelahnya memanjati tebing-tebing itupun tiada diindahkan. Hanya kenangan dan momen pada kala itu lah yang kami indahkan. Setelah lama menyinggahi pantai ini, tidak sadar bahwa sudah waktunya makan siang. Tidak ingin segera beranjak, kami memutuskan untuk menyantap semangkok Mie Instant dan Es Kelapa yang disajikan oleh satu-satunya warung makan yang buka pada kala itu. Di bawah payung-payung pantai yang menghalangi terik matahari, aku merasa baru kali itu memakan Mie Instant seenak itu, walaupun semua rasa Mie Instant sama saja tetapi hanya pada saat itulah rasanya bak makan di restoran bintang lima ditepi pantai Jimbaran, Bali. Ditambah harganya yang murah meriah dan kebersamaan makan bersama membuat makan siang ku kala itu semakin menyenangkan.



Jikalau aku tidak salah ingat, keesokan harinya kami memilih bermain-main diseputaran Kota Yogyakarta dan bermain ke utara Yogyakarta, Taman Wisata Alam Kalibiru. Tetapi Pagi harinya kami  berburu gudeg dipasar, aku tidak, aku masih butuh tidur karena akan mengendarai sedan itu lagi selama beberapa jam kedepan. Jadi dengan meneguk sekotak susu cair, aku melanjutkan tidur sampai-sampai harus dibangunkan untuk ke Kalibiru. Nampaknya mereka belum sempat membeli gudeg pagi itu di pasar. Jadi kami singgah sejenak untuk menyantap makanan di House of Raminten. Jam 11 pagi di House of Raminten ternyata telah ramai pengunjung, tetapi kami tetap kekeuh untuk mencoba tempat makan yang cukup terkenal dikawula Yogyakarta. Sajiannya layaknya makanan khas Yogyakarta pada umumnya; gudeg, krecek, mie jawa dan berbagai macam makanan khas lainnya. disamping itu ia juga menyediakan makanan khas Internasional yang kerap kita temui di restoran mewah di pusat-pusat perbelanjaan ibukota. Rupanya, sajian tersebut untuk menyambut wisatawan asing pula. Namun yang namanya wisatawan, pasti jarang ingin mengkonsumsi kuliner asal mereka sendiri di tempat yang asing bagi mereka. Aku memesan gudeg yang komplit dengan ayam dan krecek, cukup enak dan mengeyangkan walaupun masih kalah dengan Gudeg Bromo yang kumakan pada malam harinya bersama teman sejawat ku kala SMA, Nini, yang kini sedang kuliah di UGM.

Usai menyantap makan pagi sekaligus siang itu, kami langsung ke Taman Wisata Alam Kalibiru di Sleman, Yogyakarta. Perjalanan yang cukup jauh dari pusat kota Yogyakarta, sekitar satu jam setengah, tidak membuat kami getir untuk tidak ke Kalibiru. Medan perjalanannya cukup terjal bagi pengendara seperti aku yang baru lancar berkendara roda empat selama satu tahun setengah.
"Pulang dari Yogya, gue yakin bawa mobil lo udah ahli!" Seru salah seorang teman tiap aku melewati tebing terjal Kalibiru. Kenyataannya, kurasa doa nya terkabul setelah setahun aku kembali dari Yogyakarta. Seperempat perjalanan mendaki bukit-bukit dan terbing terjal, penjaga tiba-tiba memberhentikan mobil kami, "Mbak, iki tebingnya terjal buat keatas, mbak'e roso apa mau taro sini wae mobilnya?" Ujar sang penjaga dengan logat campur aduk melihat tampang kami yang bukan seperti orang sini. Tanpa ragu, kami memutuskan untuk memarkir mobilnya diparkiran bawah agar mobil pinjaman kami tidak rusak dan berbahaya, dan lalu melanjutkan seperempat perjalanan dengan menyewa empat ojek lokal yang cukup murah. Sekalipun motor tampak tak sanggup mendaki tebing terjal Kalibiru ini, beberapa kali ojek motor saya harus meng-starter motornya karena harus berhenti beberapa kali. Setelah perjuangan pendakian, tersebut sampailah ke tujuan kami.

Kalibiru terbilang cukup ramai bagi sebuah Tempat Wisata Alam, para kawula yang asyik berebut spot foto di ujung-ujung tebing (temoat ini menyediakan spot foto yang sudah dirancang ditepi tebing dengan beralas kayu). Sangat cantik bagi mereka yang gemar mencari foto untuk sosial media, cukup merogoh kocek beberapa puluh ribu rupiah saja kita bisa memilih spot foto kita masing-masing. Namun karena kami sudah terlalu lelah untuk mengantri, tidak ada satu pun dari kami yang ingin berfoto disana. Beberapa jam telah berlalu di Kalibiru, kami memutuskan untuk kembali ke (rasanya) pusat kota. Dan kemudian aku lupa apa yang kami lakukan setelah turun dari Kalibiru.

Pagi-pagi sekali setelahnya, kurang lebih pukul setengah 4 subuh kami langsung tancap gas menuju tempat sunrise yang cukup santer terdengar dikarenakan film Ada Apa Dengan Cinta 2. Ya, Punthuk Setumbu! Yang paling ku ingat dipagi itu adalah, kami lapar luar biasa. Saat sudah mencapai Jalan Raya Magelang kita rela memutar balik untuk mencari McDonald, ya mencari McDonald di Yogyakarta memang cukup menggelikan.
"Di Jakarta kan banyak, Nit." Ujar ku pada Anita sembari berkendara 80 KM/Jam di jalan raya.
"Ya gak apa-apa, Sha. Dari pertama dateng kesini mau McDonald."
Masih ingat betul jawaban Anita saat merekomendasikan McDonald sampai aku harus memacu sedan itu agar masih tepat waktu melihat sunrise. Usai menyantap McDonald, kembali kita kepada tujuan kami melihat sunrise. Dan, Magelang wahai Magelang mengapa tiada jalan mu yang tidak berbukit. Sampai Punthuk Setumbu pun kami harus menaiki bukit yang cukup tinggi, kurang lebih 25 menit berjalan kaki dari kaki bukit hingga keatasnya. Langit cukup mendung kala itu, sunrise tidak secerah yang dibayangkan. Namun matahari tetap terbit dengan eloknya, ia muncul dibalik Borobudur yang jauh dibawah bukit tersebut. Inilah potret Reka di Punthuk Setumbu.



Tepat pukul 6 kita turun dari Punthuk Setumbu dan tancap gas menuju hotel kami, karena waktu sewa mobil akan habis! Benar saja, Mas dari penyewaan mobil telah datang dan kami pun segera mengembalikan mobil tersebut dan kembali tidur.

Bagiku, Yogyakarta selalu menjadi tempat yang paling mengasyikan diseluruh Jawa. Seringkali aku menjelajahi Yogyakarta tanpa bosannya. Namun perjalanan kali itu bersama empat wanita patah hati itu, sangat-sangat berbeda. Bukan karena hanya tempat-tempatnya yang elok saja, namun cerita-cerita dan doa-doa didalamnya. Juga kenangan lagu-lagu yang dilantunkan pengamen di angkringan Tugu yang selalu mengundang cerita disetiap alunannya. Begitupula setiap kuliner yang dicicipi selalu memiliki cita rasa yang berbeda disetiap tempatnya. Ah, aku rindu Yogyakarta.

Mungkin sekian dulu tulisan penuh rindu ini, sampai jumpa lagi Yogyakarta.



Photos by: Reka Lestary and Me!


You Might Also Like

0 comments

Powered by Blogger.

Instagram

Subscribe